Jumat, 15 September 2017

MAPPASIKARAWA DAN REALITAS PACARAN

MAPPASIKARAWA DAN REALITAS PACARAN

Pernikahan adalah tuntunan agama, walaupun begitu tak bisa dilepaskan dari adat istiadat (Pangng’ade’reng) atau budaya turun temurun dalam sebuah kehidupan kemasyarakatan. Terkadang adat istiadat disejajarkan dengan perintah agama, wajib hukumnya diikuti, bahkan sebagian ada yang mendahulukan adat daripada tuntunan agama yang mereka anut. Kebanyakan masyarakat yang lahir dari suku atau daerah memang hidup mendarah daging dengan ajaran nenek moyang.

Sebuah ungkapan orang Bugis mengatakan “Utettong ri ade’e, najagainnami siri’ku”, artinya, Saya taat kepada adat, demi terjaganya atau terpeliharanya harga diri saya (Mattulada, 1985). Ini menunjukkan bagaimana kuatnya ikatan adat ke dalam hidup seseorang seperti halnya dogma agama yang ditaati.

Sulawesi selatan terdapat beberapa suku dengan kekhasan budaya masing-masing, sebut saja misalnya suku Bugis yang merupakan suku paling dominan dari sisi jumlah. Selain itu, ada suku Makassar yang juga cukup dominan mendiami beberapa kabupaten. Baik suku Bugis ataupun Makassar, ke dua suku ini dapat dibedakan dari bahasa, Bahasa Bugis dan Bahasa Makassar. Sedangkan dalam budaya adat istiadat kadang tak bisa dibedakan dan tak terpisahkan dengan banyak kemiripan di dalamnya. Sebut saja Mappasikarawa (Bugis) dan Appabajikang Bunting (Makassar) dalam perkawinan dua suku tersebut. Budaya yang tak terpisahkan dari prosesi pernikahan atau perkawinan dalam adat istiadat keduanya yang mengikat sebagai norma yang disepakati bersama.

Mappasikarawa dalam Pernikahan

Mappasikarawa adalah proses mempertemukan mempelai pria dan mempelai perempuan setelah sah menjadi suami istri dari sempurnanya ucapan ijab kabul yang dipimpin wali perempuan atau diamanahkan kepada penghulu. Mempertemukan mereka dengan membawa pengantin pria memasuki kamar pengantin perempuan yang dijaga pihak keluarga.

Mempertemukan keduanya, dalam hal ini suami diantar pihak keluarga ke depan pintu kamar tidak begitu saja masuk dengan mudah untuk menemui istrinya, simbol menjemput cinta pada keluarga perempuan. Terkadang ada drama tarik-menarik pintu kamar antara kedua pihak, biasanya pihak suami menyerahkan seserahan seperti uang logam, uang kertas, atau gula-gula untuk menebus pintu dibukakan segera.

Prosesi romantis yang dipersaksikan ini berlanjut di dalam kamar bersama beberapa orang keluarga dan segera melakukan proses mappasikarawa oleh keluarga yang dihormati atau dituakan. Mula-mula tangan pria dituntun untuk menyentuh lembut tangan istri, biasanya kedua jempol dipertemukan, terkadang juga tangan pria diarahkan ke sisi wajah tepat di bawah telinga, kemudian ke arah dada di bawah leher, hingga yang terakhir suami mencium dahi sang istri setelah sebelumnya istri mencium tangan suami saat berjabat tangan.

Andi Nurnaga, dalam bukunya berjudul “Adat Istiadat Pernikahan Bugis” menerangkan makna Mappasikarawa atau Makkarawa, (menyentuh) sebagai sentuhan yang pertama sang pengantin laki-laki kepada pengantin perempuan. Sentuhan ini diharuskan menyentuh bagian tubuh istrinya yakni ubun-ubun yang bermakna agar suami tidak diperintah istrinya; bagian atas dada yang bermakna agar kehidupan suami istri dapat mendatangkan rezeki yang banyak seperti gunung; dan berjabat tangan atau ibu jari, artinya suami istri saling mengerti sehingga tidak muncul pertengkaran dan saling memaafkan.

Sungguh, prosesi yang penuh hikmah di dalamnya, bagaimana suami harus menyentuh istri dengan lembut, bagaimana suami memperlakukan istri dengan benar, dan bagaimana seorang suami menjemput cintanya dengan cara terhormat. Adat yang cukup religius.

Realitas Pacaran dan Ancaman Mappasikarawa Hilang Nilai

Istilah pacaran tak lagi asing, walaupun bukan bagian adat istiadat apalagi tuntunan agama, hubungan interpersonal model pacaran semakin marak di tengah masyarakat dari usia masih anak-anak hingga dewasa. Pacaran diistilahkan sebagai hubungan antara lawan jenis dalam ikatan atas dasar suka, sayang saling mengasihi.

Dulu entah kapan mulai, tapi kini pacaran sudah membudaya sebelum memutuskan menikah, pacaran pun membuat pelakunya menganggap biasa saling bersentuhan, bahkan budaya siri’ semakin tergerus karenanya. Hampir dapat dikatakan menjadi paham sebagian orang yang bersesuaian ke dalam kehidupan bermasyarakat. Interaksi pun kadang tanpa batas, hingga hubungan lebih intim dilakukan atas dorongan saling mencintai.

Prosesi Mappasikarawa setelah akad nikah adalah simbol kehalalan bersentuhan dan kesucian cinta dipertemukan, dulu dijunjung tinggi tapi kini terancam hilang nilai. Apa nilai bagi mereka yang menikah tapi sudah tak lagi menggetarkan hati?, tak lagi merasakan bulu kuduk berdiri, darah serasa berkumpul di ubun-ubun tak lagi ada, degup jantung pun biasa saja, semua prosesi mappasikarawa dilalui sebatas formalitas pernikahan adat Bugis Makassar. Mereka sudah biasa bersentuhan, baik sembunyi maupun terang-terangan, dan menjadi bagian perilaku menyimpang. Abu Hamid (2003) menerangkan bahwa dalam kenyataan empiris sekarang tampak adanya pergeseran makna yang sesungguhnya merupakan penyimpangan tingkah laku, namun demikan nilainya belum hilang dan masih tersimpan dalam tradisi budaya.

Mappasikarawa semestinya tidak hanya dipandang sebagai menjaga atau melestarikan adat istiadat lokal “pangng’ade’reng” saat prosesi pernikahan, tapi perlu dijaga sebagai simbol kesucian cinta dua insan yang bertemu, sehingga hubungan interpersonal bernama pacaran sebelum pernikahan jangan sampai menodai makna mappasikarawa sebagai sentuhan pertama pengantin laki-laki kepada pengantin perempuan.

*tulisan ini juga dimuat di media online jalur9dotcom
http://jalur9.com/opini-mappasikarawa-dan-realitas-pacaran/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar