Sabtu, 16 September 2017

FENOMENA PANAIK DAN PSIKOLOGI CINTA

Jagat maya kembali digemparkan oleh kasus bunuh diri seorang gadis muda usia 22 tahun di Belawa Kabupaten Wajo, ramai diberitakan penyebab bunuh diri karena kandasnya hubungan cinta dengan kekasihnya yang sudah datang melamar tapi ditolak keluarganya. Kita pun patut prihatin

Bunuh diri gara-gara uang panaik (Paenre' dalam bahasa Bugis), begitulah pandangan sebagian orang mendengar kabar dari media bahwa seorang gadis yang nekat mengakhiri hidupnya dengan racun. Ditengarai karena uang panaik pria yang melamarnya tak sesuai harapan orang tua sang gadis kemudian menjadi alasan tertolaknya lamaran padanya. Maka, panaik pun menjadi bulan-bulanan penyebab hilangnya nyawa seseorang.

Sampai di situ, saya tidak tertarik membahas uang panaik, apalagi hendak menyalahkan budaya Bugis Makassar yang sudah ada turun temurun. Tertolaknya lamaran karena uang panaik adalah hal yang lumrah, biasanya karena kedua belah pihak tak menemu kesepakatan dari nilai panaik saat mempertemukan perwakilan keluarga.

Tak ada yang salah dengan adanya panaik, ulama-ulama pun tak memfatwakan haram, walau ada anjuran atau petuah ulama agar jumlahnya tak berlebihan hingga memberatkan keluarga pihak laki-laki mempersunting seorang perempuan Bugis Makassar, karena pernikahan terkait dengan ibadah, tak baik mempersulit.

Sebenarnya yang paling mendasar seseorang nekat mengakhiri hidup dengan bunuh diri karena faktor psikologis, baik karena persoalan kesulitan hidup yang membuatnya tak mampu menyesuaikan diri keluar dari masalah yang dihadapi, maupun karena depresi yang membuat pelakunya bertindak di luar akal sehat atau waras. Kebanyakan berawal dari masalah dalam keluarga, putus cinta dan lain sebagainya.

Sigmund Freud menerangkan masalah Bunuh diri berdasarkan teori Psikoanalisa mengatakan bahwa Bunuh diri adalah suatu bentuk agresi yang ditujukan ke dalam. Seseorang yang Bunuh diri sebetulnya ingin membunuh image (bayangan) Kebencian terhadap orang tua mereka sendiri yang ada di dalam diri mereka

Selain itu, faktor kepercayaan pada dogma agama yang kian menipis, beberapa pokok ajaran agama mengharamkan tindakan menganiaya diri sendiri apalagi menamatkan hayat dikandung badan. Islam misalnya, memberi ancaman neraka bagi umat yang melakukan bunuh diri, terlepas dari ancaman tersebut, kurangnya pemahaman akan ajaran moral menjaga diri dari berbuat aniaya pada diri sendiri.

"Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu. Dan barangsiapa berbuat demikian dengan melanggar hak dan aniaya, maka Kami kelak akan memasukkannya ke dalam neraka. Yang demikian itu adalah mudah bagi Allah". (QS. An-Nisa': 29-30).

Alasan seseorang melakukan bunuh diri lebih pada kurangnya kemampuan mengendalikan diri dalam menghadapi masalah hidup, devaluasi kepercayaan diri, hingga kehilangan makna hidup dan harapan masa depan, dan kebanyakan karena krisis dalam hubungan interpersonal seperti konflik-konflik, pemutusan hubungan, akhirnya depresi ataupun stres.

Kembali pada gadis Belawa bunuh diri yang katanya stres akibat uang panaik tertolak oleh orang tuanya, tak bisa lepas dari adanya hubungan interpersonal yang intim sebelum ikatan resmi bernama pernikahan. Hubungan tak resmi yang kini umum dinamakan pacaran, yakni hubungan percintaan atas perasaan suka di antara lawan jenis untuk mengalirkan rasa senang, rindu dan cinta kasih.

Adanya hubungan yang intim, membuat pelakunya merasa orang yang berhak masuk ke kehidupannya yang baru setelah menikah hanya seorang yang selama ini membersamainya memadu kasih berpacaran. Sehingga, ketika uang panaik tak sesuai harapan orang tuanya menjadi alasan ditolaknya lamaran membuatnya stres, menganggap harapan hidupnya pupus seperti kehilangan harga diri yang tidak lagi pantas hidup menanggung malu gagal menikah.

Maka, uang panaik, terlepas dari tinggi rendahnya, tidak bisa begitu saja dipersalahkan,  apalagi sampai menjadi penyebab seseorang bunuh diri hanya karena alasan penolakan keluarga saat pelamaran.

Mengenai jumlah panaik adalah sesuatu yang bisa dibicarakan dengan saling terbuka, karena uang panaik berhubungan dengan biaya pesta pernikahan, disamping sebagai penghargaan kepada keluarga perempuan, sehingga saat lamaran belum menemu kesepakatan jumlah akan terus dilakukan pembicaraan hingga menghasilkan keputusan. Keputusan bisa berupa disepakatinya jumlah panaik, atau bisa kesepakatan menunda pembicaraan untuk kembali ke keluarga masing-masing agar mencari solusi lain sebelum melanjutkan pembicaraan.

Adanya penolakan, tidak terjadi begitu saja dengan alasan jumlah panaik tak sesuai harapan keluarga perempuan, karena tinggi rendahnya panaik relatif, yang kemungkinan tertolaknya lamaran biasanya lebih pada ketidaksetujuan keluarga pada calon yang berniat mempersunting anak gadisnya, juga boleh jadi karena ada calon lain lebih disenangi keluarga perempuan yang ditunggu datang melamar, tak pandang apakah anak gadisnya senang atau tidak. Dan, tersiar kabar, keluarga gadis yang bunuh diri memang sedang menyiapkan calon lain melamarnya, terlepas dari rendahnya uang panaik yang ditolak keluarganya.

Memandang fenomena panaik dan maraknya kisah kasih tak sampai pelaminan, perlu kesadaran bersama bahwa panaik walaupun adalah tradisi, jangan sampai jadi penghalang bersatunya cinta dua insan dalam ikatan pernikahan. Pun, adanya hubungan pra nikah perlu jadi perhatian khusus bagi orang tua dalam mencegah anak-anak khususnya remaja untuk menghindarinya hingga usia dewasa kemudian memutuskan menikah.

*Tulisan ini pernah dimuat di Koran Tribun Timur 30 Maret 2017

Tidak ada komentar:

Posting Komentar