Hari ke tiga OSPEK, aku bergegas setelah salat subuh, mandi melawan dingin dan kantuk sisa kelelahan kemarin ospek fakultas, hari ini adalah ospek jurusan, sudah terbayang kembali wajah-wajah sangar yang entah dibuat-buat para senior agar kami mahasiswa baru atau maba gentar tertunduk dan merendah asasi di hadapan mereka.

Belum banyak pete-pete (angkot) yang melewati rute ke arah kampus sepagi ini, mentari masih bersembunyi di kaki Timur cakrawala, semburatnya masih mengintip di balik awan, bagaikan keberanianku yang bersembunyi ketika di hadapan senior kemarin, ciut dilumat wajah sangar mereka, untung kakak lelakiku yang kuliah di kampus yang sama berkenan mengantar di jam tidurnya setelah salat subuh seperti biasa, aku yakin ia tahu akibat jika adiknya terlambat hadir saat ospek, apalagi kakakku mahasiswa Teknik yang sedari dulu ospeknya terkenal kejam, tak ada hak asasi bagi mahasiswa baru, maka pukul 6 aku sudah harus berada di kampus bersiap menerima perlakuan seenaknya dari senior.

Tiba tak jauh dari depan kampus, aku kemudian berjalan sedikit berlari menundukkan badan menuju kerumunan peserta dan panitia ospek, baju kuning, celana kain hitam serta jeriken air 2 liter jadi penanda bagi maba sesuai jurusanku, selain itu ada peserta ditugaskan berteriak-teriak seperti penjual pinggir jalan menjajakan jualan, menyebut nama jurusan agar maba yang lugu tak salah tempat berkumpul.

"Kenapa pakai kacamata?"tetiba senior menegur melihat kacamata riben yang kupakai.

"Naik motor tadi kak", kujawab sekenanya, mana ada pagi buta pakai kacamata gelap.

Ternyata kacamata riben tak lagi dipakai di ospek jurusan, hanya ospek fakultas dan aku lupa, pantas peserta lain sudah tak lagi tampak kaca mata riben tempo dulu dikenakan.

Kami kemudian berbaris sampai panitia memastikan tak ada peserta yang tertinggal, sambil para senior memeriksa perlengkapan ospek peserta yang sudah berbaris rapi sedikit gemetaran, serasa kaki tak kuat menopang, bukan karena dinginnya udara pagi dari hutan kampus, tapi rasa gentar di lubuk hati, jika perlengkapan kurang bersiaplah menerima hukuman, push up dan semacamnya.

Setelah semua lengkap, kami akhirnya menuju jurusan dengan berbaris bagai bebek dituntun majikan ke kandangnya, hanya bedanya, bebek sebegitu bebas mendongakkan kepala, bersahutan suara, sedang kami menunduk, mulut terkunci, seolah menghitung langkah gontai menuju tiang eksekusi, hanya kecamuk pikiran masing-masing membayangkan nasib di dalam cengkeraman senior.

Tiba di jurusan, prosesi ospek sekaligus pengkaderan awal maba di jurusan pun dimulai, mulai mengantri di depan baliho berukuran lebar dan tinggi hasil karya para senior, cukup bernilai seni walau hanya cat hitam dan putih berkombinasi indah, bergambar lentera dengan cahaya terang di tengah kegelapan, sesuai nama pengkadeean yang tertulis di bagian atas "LENTERA", mungkin filosofinya agar kami peserta pengkaderan kelak menjadi pencerah di kegelapan dunia nyata.

Satu persatu maju sesuai nomor induk mahasiswa melewati kolong baliho, sebelum lewat terlebih dahulu berdiri memandang takzim baliho besar itu, kemudian memperkenalkan nama lengkap beserta NIM masing masing dengan berteriak lantang, seolah semua penduduk kampus harus mendengar perkenalan kami dengan mereka, untung saja baliho terbuat dari tripleks, kalau kaca mungkin sudah pecah tak sanggup menahan teriakan kami yang membahana.

"NAMA SAYA MUHAMMAD RIDWAN, NIM GE TIGA SATUU SATUU KOSONG LIMAAA KOOSOONG DUAAA TUJUH", teriakanku lantang di urutan ke 27, kemudian berlalu menuju ruang majelis lantai 3 tempat pemberian materi pengkaderan berlangsung.

Persis di kaki tangga lantai 1, seorang senior yang sedang duduk bersama yang lain mencegatku, dengan tatapannya yang tajam, brewok tipis di pelipis dan jenggot tebal legam dipangkas pendek terawat rapi, berkulit sedikit gelap, menambah ciut hatiku, jantung sedari tadi berdegup kencang, gentar melihat banyak senior menatap tajam memandang rendah bagai singa kelaparan mendapat mangsa.

"hei kau, sini!" suara geramnya memecah fokus langkahku ingin segera sampai ke ruang majelis.

"Siapa namamu?" pertanyaan dasar tapi cukup membuat nyali seorang maba lugu sepertiku mengerut.

"Ridho kak", kujawab singkat lalu kembali tertunduk menatap lamat-lamat sepatu sang senior, jangan sampai tiba-tiba mendarat di dada, membuatku ngeri membayangkannya.

"Sama nama lengkapku ini kak, kosong dua tujuh juga NIM nya", celetuk salah satu senior berkacamata di sampingnya. Membuat pikiranku yakin nanti bakal dihabisi olehnya. Menurut cerita, senior tidak mau ada maba yang namanya sama.

"Kau kenapa berjenggot? potong itu besok!", pertanyaan sekaligus perintah senior berkulit gelap itu bersamaan meluncur, menghunjam gumpalan keyakinanku yang membiarkan lembaran-lembaran tipis jenggotku tumbuh alami. Sesuai yang kuyakini, jenggot adalah sunnah Nabi, maka merawatnya mendapat pahala.

Jenggotku memang mulai terlihat, walau masih tipis tapi sudah jelas menjadi pembeda dari peserta cowok lain yang kebanyakan tampil dengan roman muka klimis.

"Tumbuh sendiri kak" Jawabanku singkat tapi membuat senior brewok itu semakin menatapku tajam menguasai.

"Iyah saya tau, alasanmu apa tidak potong?"

"Mengikuti Sunnah Nabi kak", jawabku penuh yakin berusaha menguasai diri dalam gentar.

"Ah, mana dalilnya kalau jenggot sunnah nabi dan tidak boleh dipotong?" pertanyaannya membuatku terkesiap, tentu saja aku tak hafal dalilnya, yang kutahu itu sunnah nabi, itu saja.

"Peserta cepat, yang terlambat jalan jongkok naik tangga sampai masuk ruangan", tetiba panitia di lantai 3 berteriak meminta semua peserta bersegera ke ruangan. Menyelamatkanku dari cengkeraman senior berkulit gelap itu.

"Oke de' naikmi", senior itu menyuruhku beranjak, tak lagi berminat mengajakku debat yang hampir mati di skakmat olehnya.

Aku akhirnya bisa bernafas lega, walau sengal-sengal lari menaiki anak tangga menuju ruang majelis agar tidak terlambat, teman-temanku yang lain sudah mendahului hampir sampai.

Memasuki ruang majelis, kami semua duduk melantai, panitia atau pengurus lembaga sudah siap memberikan kami materi pembekalan mengenal dunia yang masih baru bagi kami. Aku yang terlambat paling terakhir masuk duduk bersila di depan daun pintu yang terbuka lebar, beberapa senior berdiri memperhatikan peserta, mungkin sedang memilih mangsa untuk dikerjai, atau mencari maba cantik untuk jadi korban retorika cinta senior.

Sebelum materi di mulai, panitia masih memberi arahan, mengatur duduk kami agar lebih rapi, di saat bersamaan senior-senior lain mulai jahil ke peserta.

Salah satu teman peserta berasal dari Bali kena, berperawakan tinggi dan lumayan tampan, mungkin senior cewek tertarik melihat wajah tampan lugu dikerjai mereka, disuruh menyanyi saat memperkenalkan nama dan asal daerahnya, setiap senior menyebut namanya maka ia harus bernyanyi memperenalkan diri, ketika sedang duduk maka harus langsung berdiri, seolah ada tombol remot kontrol dipegang senior.

Lain lagi dengan teman yang dari Jeneponto, berperawakan kecil, ringkih, berkulit gelap tak terawat, setiap kata keluar dari mulutnya mengundang tawa karena logat asli daerahnya yang kental. Ia bernasib malang karena nama belakangnya sama dengan salah satu senior, super senior karena sudah menjelang sarjana. Bahkan, ia dibuatkan nama khusus mirip pakaian dalam wanita berbentuk mangkok kembar dengan temali pengikat. Setiap nama buatan disebut sang senior, ia harus berjoget dan mendendang "santai" dari mulutnya, dengan penuh penjiwaan. Menikmati keucuan melihat kami dikerjai.

Aku yang lebih banyak tertunduk di samping pintu tak lepas dari kejahilan senior, apalagi senior tadi yang nyeletuk bahwa namanya sama denganku tepat di bawah bingkai pintu menatapku tajam bagai mendapat mangsa baru, untungnya ia berkacamata membuat tatapannya tak semenakutkan senior tadi yang mencegatku di tangga. Nama lengkapnya persis sama dengangku, bahkan NIM hanya dibedakan angkatan, ia senior 1 tahun di atas, sama-sama nomor urut 27.

"Siapa nama lengkapmu?", betanya ingin memastikan ia tak salah dengar ketika aku berteriak di depan baliho memperkenalkan diri.

"Muhammad Ridwan kak", jawabku tak berani menatap wajahnya.

"Ih sama namaku", tertawa memperdengarkan senior cewek berambut kriting diikat rapi disampingnya, jelas sekali kalau ikatnya dilepas bakal mengembang seperti bola besar.

"Ganti namamu kau nah", senior cewek kriting itu nyeletuk sambil menunjuk sejengkal dari wajahku yang mulai ciut.

"Iya, saya tidak mau sama namata, masa' sama nama, NIM juga sama Dua Tujuh" senior berkacamata menimpali.

"Kau harus ganti nama sekarang, saya hitung sampai 3, kalau tidak ada nama barumu, saya yang bikinkan nama", titahnya membuatku terjepit, apalagi membayangkan akan dibuatkan nama, jangan sampai nama aneh seperti kawanku dari Jeneponto, jangan, cukup sudah kebebasanku tercerabut, jangan lagi ditambah nama yang memalukan seperti pakaian dalam wanita.

"Satu, Dua, Ti..."

"Aco' kak", spontanitas kusebut nama baru untukku, nama khas Bugis Makassar untuk bayi laki-laki yang baru lahir dan belum diberi nama orang tuanya. Semoga nama itu tidak kubawa selama kuliah, karena aku sudah malas berganti nama, waktu SMA juga dibuatkan nama baru, memaksaku melupakan nama panggilan masa kecilku hingga SMP.

"Iyo nah aco' saja namamu", tertawa penuh kemenangan lalu beranjak dari depanku karena pemateri sudah memasuki ruang majelis.

Lega rasanya ditinggal senior yang sok kuasa itu, padahal kami hanya beda setahun, mungkin menikmati jadi senior baru di kampus setelah setahun tertindas para senior, akhirnya kami pun jadi pelampiasan dendam kesumat.

Materi berjalan dengan lancar, hingga hari mendekati sore kami merasa nyaman dan tak terkekang selama dalam ruangan, tapi saat keluar ruangan, saat kegiatan out dor kami seperti dilepas masuk ke kandang macan, bersiap dimangsa, tak berkutik, ciut bagai kelinci lucu dalam cengkeraman raja hutan.

Yah, ospek mirip hukum rimba, malang bagi kami karena maba adalah mangsa di tengah predator, walau itu hanya selingan bagi senior yang mempersiapkan kader mahasiswa pencerah bagai lentera di tengan kegelapan. Tak hilang penghormatan kami pada senior-senior yang begelut waktu dan tenaga demi suksesnya pengkaderan juniornya.
#lentera2005
#cerminhidup
#flppangkep