Jumat, 05 Januari 2018

HOAX MEMBANGUN, MEMBANGUN CITRA DI ATAS HOAX

Rengking berapa de'?, tanyaku pada siswa RPC Cakep yang kemarin baru saja menerima rapor di sekolah.

Rengking 1 kak di mata mamaku, jawabnya bercanda.

Yah lagi heboh hoax membangun, Pernyataan Ketua Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) Mayjen TNI Purn Djoko Setiadi soal 'hoax membangun' menjadi pembahasan warganet sampai ke siswaku. makanya ia mau bilang ke mamanya kalau ia meraih rengking 1 di kelasnya.

Tapi yah, saya setuju saja di mata mamanya ia selalu rengking 1 menurut pengakuannya, bukan setuju ia mengaku rengking 1 karena itu cuma candaan berada di antara taman-teman RPC-nya yang masuk peringkat 10 besar di sekolah.

Bagaimana pun, seorang ibu mesti membangun mental anaknya, jangan sampai anak merasa rendah diri tidak masuk siswa paling pintar akademik di sekolah.

Luar biasa kalau ibu siswaku ini membangun mental anaknya seperti itu, karena setiap anak memiliki kecerdasan tersendiri, karena pada dasarnya tak ada seorang pun yang memiliki kesamaan, bahkan anak kembar identik sekalipun

Rengking 1 di kelas juga bukan jaminan memiliki kualitas kecerdasan mumpuni dibanding yang lain, karena menurut Ary Ginanjar Agustian pakar ESQ, kecerdasan adalah sinergi kecerdasan Intelektual (IQ), kecerdasan emosional (EQ), dan kecerdasan spiritual (SQ).

Berbicara kecerdasan yang berbeda, kita pun akan bertemu pesohor dunia yang sukses di bidangnya masing-masing, bisa jadi mereka tidak pintar-pintar amat dulunya di sekolah, atau yang pintar amat di sekolah menemu jalurnya menjadi seorang professor handal.

Atau, tengoklah kesuksesan dunia yang diraih Cristiano Ronaldo, pemain sepak bola internasional Portugal yang membela klub sukses Real Madrid, tentu ia tak sesukses itu kalau tiba-tiba beralih jadi pebulu tangkis, manantang nama-nama tenar seperti Pebulutangkis asal Denmark, Viktor Axelsen, atau pebulutangkis asal India, Kidambi Srikanth, keduanya saat ini menduduki peringkat 1 dan 2 tunggal putra dunia (data 2017).

Apalagi kalau tiba-tiba beralih profesi menjadi peneliti di laboratorium, atau mengikuti jejak ilmuan cerdas asal Indonesia Khoirul Anwar, penemu dan pemegang paten teknologi pemancar yang menggunakan konsep dua FFT, untuk dipakai pada metode SC-FDMA, dalam proses uplink 4G LTE, sekarang mulai ia kembangkan uplink 5G seperti yang disampaikannya kala saya mengikuti kuliah umumnya di Bandung 2 bulan lalu dalam MUNAS 4 FLP, sungguh kita boleh iri dengan kecerdasannya.

Deretan tokoh inspirasi ini dengan kecerdasan yang berbeda-beda jadi pelajaran bagi kita para orang tua, guru pendidik, ataupun bagi generasi muda, bahwa kesuksesan dunia diraih dengan gurat takdirnya masing-masing, di mana kecerdasan berperan di dalamnya.

Nilai rapor yang sering menjadi tolok ukur kepintaran siswa di sekolah tidak juga bisa jadi parameter suksesnya kelak, tapi benar ada nilai di atas kertas jadi penentu siswa bisa lulus PTN melalui jalur bebas tes SNMPTN, sebuah kesuksesan lulus PTN terbaik yang banyak diimpikan siswa.

Tapi, intinya bagaimana guru memberi nilai yang adil, karena nilai rapor saat ini khususnya kurikulum 2013 tak lagi mengenal nilai merah (jadi ingat masa SMA dapat nilai 5 matematika tertulis tinta merah di rapor) dengan skala nilai 0 - 10, tapi sekarang 1 - 4 dengan skala untuk aspek kognitif dan psikomotor, sedangkan untuk aspek afektif menggunakan SB = Sangat Baik, B = Baik, C = Cukup, K = Kurang.

Tak sedikit guru memberi nilai mata pelajaran yang diajarkan tidak lagi bergantung nilai ulangan ataupun tugas, tapi dari aspek akhlak dan kejujuran anak didiknya.

Beberapa pekan lalu, saya mendengar siswa RPC dengan bangga bakal dapat nilai tinggi Fisika di rapornya, alasannya sang guru di salah satu sekolah unggulan di Pangkep memastikan, kalau kejujurannya dalam ujian, baik ulangan harian, tengah semester ataupun ulangan semester, bakal diganjar nilai tinggi oleh gurunya, karena untuk penilaian di rapor dengan mengumpulkan nilai-nilai ulangan dan tugas hampir tidak ada siswa yang dapat mencapai nilai standar penilaian rapor, maka aspek kejujuran dan akhlak sehari-hari siswa adalah pengungkit nilai yang menjadi pembeda nilai nantinya.

Salam takzim dalam hati untuk guru itu terlontar ke Langit, selalu ada guru hebat untuk melahirkan siswa-siswa hebat, ia berhasil memperbaiki integritas siswanya yang mengutamakan kejujuran dalam belajar ilmu darinya.

Semoga nilai-nilai rapor bukan sekadar nilai 'hoax membangun' yang diberikan guru kepada siswanya, walaupun pastinya ada keterbatasan guru memberi nilai yang adil, karena tak dapat dipungkiri ada siswa yang malas belajar tapi sangat terampil dalam menyontek dan akhirnya meraih nilai tinggi di rapornya, tapi tentu hanya segelintir kasus demikian.

Dan, jika 'hoax membangun' merasuki dunia pendidikan kita, akan melahirkan generasi hoax, membuat dan menyebarkan hoax demi kepentingan diri dan golongannya. Kelak, akan ada orang tua yang kebingungan jika mendapati anak-anaknya yang dikenalnya pintar akademik (dilihat nilai rapor), tapi hanya menjadi sampah masyarakat, ternyata pintarnya hanya pencitraan.

Kita pun akan teringat dengan Dwi Hartanto. Ia pernah disebut sebagai “Penerus Habibie”, Presiden Ke-3 Indonesia dan salah satu tokoh dunia berpengaruh dalam bidang teknologi. Tapi ternyata semua yang dikatakan Dwi dalam berbagai kesempatan cuma klaim belaka.

Ia akhirnya mengklarifikasi hoax membangun atau upayanya membangun hoax untuk pencitraan dirinya, ternyata ia bukan lulusan Tokyo University, tetapi Institut Sains dan Teknologi AKPRIND Yogyakarta dengan Program Studi Teknik Informatika, Fakultas Teknologi Industri.

Katakanlah tidak pada hoax mulai hari ini, ada atau tidaknya embel-embel membangun, karena suara hati akan selalu jujur, mungkin di luar terlihat sukses menggapai karir walaupun dibangun atas hoax atau kebohongan tapi dalam hatinya tak pernah tenang menikmati harinya, riuh tepuk tangan, terang sorot cahaya panggung, namun gelap cahaya Ilahi.
#cerminhidup
#hoaxmembangun

Tidak ada komentar:

Posting Komentar